FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Dalam Strategi Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Barat berkomitmen mencapai target penurunan emisi sebesar 60%. Oleh karena itu, perlu sinergi para pihak, baik pemerintah maupun mitra lokal, dalam pencapaian target tersebut. Pokja REDD+ sebagai medium komunikasi dan koordinasi para pihak terkait isu REDD+ mengemban tanggung jawab untuk melakukan kompilasi data dan informasi terkait pengukuran emisi dan melaksanakan pelaporan terkait aksi perubahan iklim. Berdasarkan identifikasi, ditemukan beberapa program dan kegiatan para pihak yang belum terlaporkan,sehingga perlu diintegrasikan ke dalam data dan sistem yang dimiliki Pokja REDD+.Bersama FORCLIME, Pokja REDD+ memfasilitasi FGD para pihak yang bertujuan untuk mengnyinergikan dan mengharmonikan program pengurangan emisi di Provinsi Kalimantan Barat.
FGD dilaksanakan tanggal 11 November 2021 di Pontianak, dan dihadiri oleh instansi-instansi Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Pokja REDD+, dan mitra pembangunan yang melaksanakan program dan kegiatan terkait aksi penurunan emisi. Kegiatan dibuka oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Ir. Adiyani, MH, yang menyampaikan komitmen Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam aksi penurunan emisi melalui pembentukan kelembagaan Pokja REDD+ sejak tahun 2012,dan pelaksanaan program yang mendukung pencapaian Visi dan Misi Provinsi Kalimantan Barat tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan
Selanjutnya, Prof. Dr. Gusti Hardiansyah, MSc, QAM selaku Ketua I Pokja REDD+ melalui presentasinya menyampaikan peran Pokja REDD+ sebagai simpul dan medium komunikasi para pihak, dan perlunya harmonisasi data untuk mengetahui sebaran distribusi aksi program di masing-masing wilayah yang dilakukan para pihak.
FGD ini menghasilkan tabel identifikasi program yang dilaksanakan oleh mitra lokal dan sebaran lokasi kegiatan. Tabel tersebut akan menjadi bahan untuk evaluasi dan mengukur pencapaian target penurunan emisi yang ditetapkan.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Yenny, S.Hut, MT, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, anggota Pokja REDD+ Kalimantan Barat
Jumtani, Advisor Bidang Pengelolaan Hutan Lestari dan Focal Point GCF
Wandojo Siswanto, Manajer Bidang Strategis, Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena proses penilaian tersebut dapat menjadi wadah berbagi informasi antar staf pengelola dan dapat memastikan bahwa arah pengelolaan sesuai dengan mandat penetapan kawasan. Di Indonesia, metode yang digunakan untuk menilai efektivitas pengelolaan adalah Management Effectiveness Tracking Tool (METT), yang dilakukan setiap dua tahun sekali dan mencakup enam aspek yaitu: (1) konteks, yang meliputi status hukum kawasan, (2) perencanaan, (3) input, (4) proses, (5) output, dan (6) outcome. Penilaian METT ini dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing pengelola kawasan, dan dapat mengikutsertakan masyarakat sekitar kawasan serta pemangku kepentingan lain, dibantu fasilitator independen untuk hasil penilaian yang lebih komprehensif dan seimbang atau objektif.
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTN) terakhir melaksanakan penilaian METT pada tahun 2019 dengan nilai 74, dan sebelumnya pada tahun 2017 dengan nilai 72. Oleh karena itu, tahun ini BBTN Lore Lindu kembali melakukan penilaian untuk menilai tingkat efektifitas pengelolaan yang dilakukan dalam kurun waktu Januari 2020 hingga November 2021. Kegiatan penilaian METT diselenggarakan pada tanggal 2-3 November 2021 di Kantor BBTN Lore Lindu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dalam kegiatan ini, FORCLIME yang diwakili oleh Bapak Ismet Khaeruddin, bersama dengan Bapak Andhika Chandra, S.Hut, M.Sc selaku perwakilan dari Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menjadi fasilitator penilaian METT.
Hasil penilaian mandiri menunjukkan adanya peningkatan efektifitas pengelolaan dengan nilai METT 80, yang umumnya dikarenakan pelaksanaan pengelolaan sesuai rekomendasi penilaian METT tahun 2019. Hasil penilaian ini akan dilaporkan dan diverifikasi oleh Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi KLHK, sehingga pihak BBTN Lore Lindu perlu melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan sebagai bukti dan bahan verifikasi.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Ismet Khaeruddin, Advisor Senior, Focal Point Keanekaragaman Hayati KFW Forest Program 3 dan Koordinator Provinsi Sulawesi Tengah
Dalam upaya mendukung pengembangan kapasitas dan pengembangan kemitraan konservasi di wilayah Balai Taman Nasional Wasur (TN Wasur), perlu ditetapkan kampung binaan sebagai target lokasi pelaksanaan program bersama FORCLIME dan TN Wasur. Untuk itu, FORCLIME bersama Taman Nasional Wasur melakukan survei rona awal pada tanggal 8 sampai 12 November 2021 ke lima kampung yang telah diidentifikasi berdasarkan diskusi bersama. Kampung-kampung yang dikunjungi adalah kampung Wasur, Yanggandur, Rawa Biru, Tomer dan Erambu-Toray. Kelima kampung tersebut mewakili Suku Marind Anim dari Sub-Suku Marori Men-Gey, Sub-suku Kanume, dan Suku Yeinan.
Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi: kondisi geografis, demografis, kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat, kelembagaan termasuk kelembagaan adat, status kepemilikan lahan dalam pengelolaan sumber daya alam serta potensi hasil hutan bukan kayu. Dalam pengumpulan data dan informasi ini terjadi pembagian tugas, Tim FORCLIME Papua melakukan wawancara langsung dengan masyarakat, sedangkan Tim TN Wasur menyediakan data sekunder. Kemudian analisis atas data yang terkumpul dilakukan bersama.
Hal menarik yang dari hasil wawancara bersama masyarakat adalah bagaimana kearifan lokal menjadi modal dasar dalam pengelolaan sumber daya alam melalui tradisi adat yang masih dijalankan sampai sekarang. Salah satunya adalah sistem Sasi atau dalam bahasa Kanume disebut Sar. Yaitu aturan adat yang mengatur larangan untuk mengambil sumber daya alam pada lokasi atau dusun dalam jangka waktu yang tertentu. Sasi berkaitan dengan penghormatan pada sanak saudara yang meninggal dunia. Upacara dilakukan setelah peringatan 40 hari kematian sanak keluarga yang meninggal tersebut dengan menutup akses pada wilayah tertentu sesuai dengan kesepakatan keluarga, biasanya satu sampai empat tahun. Lokasi Sasi diberi tanda, misalnya dengan pemasangan pancang janur kelapa. Informasi mengenai kearifan lokal seperti ini juga akan disertakan dalam laporan pelaksanaan survei. Pelaksanaan sistem Sasi ini masih sangat kental dilakukan khususnya di kampung Yanggandur, yang telah ditetapkan sebagai kampung binaan Balai TN Wasur dengan Surat Keputusan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. SK 80/KSDAE/SET/KSA.1/2/2017.
Hasil survei rona awal ini kemudian akan dilaporkan kepada Kepala Balai Taman Nasional Wasur. Selanjutnya akan didiskusikan bersama untuk penetapan lokasi kampung binaan sebagai lokasi pelaksanaan program kerja FORCLIME dan Balai Taman Nasional Wasur.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Rut M Ohoiwutun, Advisor Junior bidang hutan kemasyarakatan dan hutan adat, Papua
Theodora Florida Resubun, Advisor bidang Pengelolaan Hutan Lestari dan Koordinator Provinsi Papua
Mohammad Sidiq, Manajer bidang strategis, pengelolaan hutan lestari dan Koordinator Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
Didukung oleh: | |