FORCLIME
Forests and Climate Change ProgrammeTechnical Cooperation (TC Module)
Select your language
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat beroperasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007. Salah satu persyaratannya adalah mengembangkan investasi yang dapat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu, KPH harus memiliki sistem manajemen keuangan yang memadai, selain sistem penganggaran yang sudah ada dalam rencana anggaran pemerintah nasional dan daerah (APBN atau APBD).
FORCLIME melakukan pendampingan dalam proses penerapan sistem manajemen keuangan bagi KPH di Indonesia selama beberapa tahun ini, khususnya KPH Gularaya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Melalui bantuan fasilitasi dan bimbingan FORCLIME, beberapa milestone telah dicapai sebagaimana berikut ini.
Milestone pertama: Pada awal tahun 2012, FORCLIME mendukung pelaksanaan studi mengenai ‘Konsep Kebijakan Investasi dan Sistem Manajemen Keuangan bagi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)’. Telaahan ini dilakukan oleh sebuah tim dengan berbagai keahlian di bidang kehutanan dan administrasi publik dan keuangan. Kajian ini selesai pada bulan Agustus 2012. (Tim studi terdiri dari: Bramasto Nugroho; Sudarsono Soedomo, Handra Hefrizal; Agus Setyarso, Guido Kartodihardjo, Ali Djajono).
Milestone kedua: FORCLIME mendukung penyusunan dan penerbitan buku "PPK-BLUD - Menuju KPH Mandiri" (edisi 1 September 2013).
Milestone ketiga: FORCLIME menginisiasi percobaan pelaksanaan PPK-BLUD di Gularaya KPH Produksi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Uji coba dilakukan Juni 2013
Milestone keempat: FORCLIME melakukan proses fasilitasi secara intensif di Gularaya KPH Produksi pada periode bulan Maret sampai Mei 2014 bekerja sama dengan akademisi lokal dari Universitas Halu Oleo Kendari. Tujuan dari proses fasilitasi ini adalah untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan dalam penerapan system PPK-BLUD di KPH Gularaya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama periode tersebut, termasuk:
Milestone kelima: Capaian terbesar adalah diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara No. 636 tahun 2014 tentang pembentukan Tim Penilai PPK-BLUD untuk KPH Gularaya, tanggal 11 November 2014.
Milestone keenam: Hasil dari fasilitasi ujicoba pelaksanaan PPK-BLUD di KPH Produksi Gularaya, beberapa peraturan pemerintah daerah telah dikeluarkan:
Milestone ketujuh: FORCLIME fasilitasi penyusunan buku petunjuk pelaksanaan sistem PPK-BLUD - Menuju KPH Mandiri , yang merupakan penyempurnaan dari buku pertama, dan sebagai capaian terbaru di tahun 2016. Di dalam buku terbaru ini dilengkapi dengan template yang diperlukan dalam implementasi sistem PPKBLUD di tingkat KPH. Dengan panduan ini para manajer KPH di seluruh Indonesia dapat belajar dari pendekatan yang dilakukan di KPH Produksi Gularaya dan menerapkannya dalam KPH masing-masing.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Gatot Moeryanto, Senior Adviser untuk Pembangunan KPH
Wandojo Siswanto, Manager bidang Strategis, Kebijakan Kehutanan (Kerangka Kebijakan Nasional dan sub nasional)
Latar belakang
Inventarisasi hutan bertujuan untuk mengumpulkan data hutan dan informasi relevan lainnya dalam pengelolaan hutan (dalam hal ini: Kesatuan Pengelolaan Hutan - KPH). Kegiatan inventarisasi hutan merupakan dasar untuk melakukan analisis lebih lanjut dan menyusun langkah-langkah perencanaan sesuai dengan rencana jangka panjang serta rencana tahunan bisnis dan manajemen.
Penerapan metode inventarisasi hutan yang baik dan efisien di tingkat KPH merupakan prasyarat dalam merumuskan rencana pengelolaan 10 tahun serta rencana pengelolaan tahunan KPH. Dengan demikian inventarisasi hutan merupakan kunci utama dalam melakukan reformasi sektor kehutanan di Indonesia. Inventarisasi tertentu harus dilakukan secara berkala di KPH, resort (RPH) dan di tingkat blok sebagai dasar bagi pengelolaan hutan untuk menentukan potensi hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu.
Tantangan inventarisasi hutan di tingkat KPH saat ini
Pedoman inventarisasi hutan yang ada serta kondisi umum untuk melakukannya menyebabkan berbagai tantangan dan kesulitan dalam pelaksanaannya di tingkat KPH:
Metodologi:
Kapasitas para pemangku kepentingan:
Mandat pemangku kepentingan:
Skala dan topografi:
Tenurial lahan dan pemanfaatan hak:
FORCLIME dukung revisi pedoman inventarisasi manajemen hutan KPH
Sepanjang tahun ini, FORCLIME mendukung Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) KemenLHK dalam proses revisi pedoman teknis inventarisasi hutan di wilayah KPH. Melalui kerja sama erat antara IPSDH bersama dengan tim konsultan ForestEye dari Universitas Goettingen, Jerman, beberapa Diskusi Kelompok Terarah (FGD), lokakarya dan pelatihan telah dilakukan:
Maret 2015: Pertemuan persiapan. Penilaian atas permasalahan dan tantangan yang ditemukan dalam pedoman teknis inventarisasi saat ini, identifikasi personel kunci dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan penyiapan road map proses dukungan FORCLIME untuk menyusun revisi pedoman teknis.
April 2015: Diskusi Kelompok Terarah (FGD). Presentasi hasil tinjauan kritis atas pedoman yang ada sekarang oleh konsultan dan rekomendasi awal pada rancangan sampel alternatif dan pilihan untuk rancangan inventarisasi pengelolaan.
Juli 2015: Penilaian Kebutuhan Pelatihan dan Informasi. Penilaian atas tujuan sebenarnya kegiatan inventarisasi pada tingkat KPH adalah untuk mengidentifikasi informasi yang harus dikumpulkan selama pelaksanaan inventarisasi. Hubungan antara informasi inventarisasi dan rencana pengelolaan berkelanjutan adalah hal penting. Kebutuhan pelatihan telah dibahas melalui berbagai lokakarya dan sesi pelatihan intensif pada bulan November.
November 2015: Lokakarya dan pelatihan. KPH, BKPH dan staf KemenLHK membahas kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan efektivitas biaya metodologi inventarisasi serta perumusan yang jelas tentang formulasi tujuan inventarisasi dan sasaran sesuai dengan kebutuhan KPH. Lokakarya satu hari ini diikuti dengan pelatihan tiga hari tentang Sistem Informasi Geografis (GIS), manajemen data, penginderaan jarak jauh dan perangkat pengukuran hutan modern.
Maret 2016: Lokakarya Final. Sekelompok besar ahli kehutanan dari KemenLHK, universitas, KPH, FAO dan GIZ bersama-sama hadir pada lokakarya dua-hari. Peserta memberikan masukan final dan membahas pedoman standar minimal untuk inventarisasi pengelolaan hutan di tingkat KPH yang disusun oleh FORCLIME dan Konsultan ForestEye.
Rencana ke depan
Tentunya FORCLIME dan tim konsultan ForestEye dari Universitas Goettingen akan menyelesaikan pedoman standar minimal untuk inventarisasi pengelolaan hutan di tingkat KPH yang mencakup semua hasil dan masukan dari rangkaian lokakarya yang telah dijelaskan di atas. Dokumen yang disusun merupakan kontribusi FORCLIME dalam proses merevisi pedoman inventarisasi IPSDH KemenLHK, yang saat ini masih sedang dilakukan dan nantinya akan tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. IPSDH berencana menyelesaikan proses revisi pedoman teknis ini pada bulan Juni 2016. Revisi pedoman inventarisasi akan dilaksanakan pada tahun 2017.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Tobias Goedde, Manajer Area Strategis untuk Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
FORCLIME memberikan saran kepada Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Konservasi Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dalam pembangunan Kesatuan Pengelolaan Konservasi Hutan (KPHK) non-taman nasional.
Salah satu bentuk kolaborasi yang telah dilakukan adalah penyusunan buku panduan "Rancang Bangun dan Operasional Pengelolaan KPHK”. Buku yang telah selesai dibuat pada tahun 2015, menguraikan tentang perencanaan dan langkah-langkah persiapan untuk membangun KPHK, sebagai berikut:
Pertama, teknik penyangga (buffering) berdasarkan proximity dan adjacent, serta aspek geografis dan ekologis digunakan untuk penetapan suatu KPHK baru. Kemudian, kawasan konservasi kunci yang diidentifikasi melalui metode penilaian ahli (expert judgment), yang merupakan intisari dalam mendelineasikan unit kelola yang diusulkan.
Hasil kolaborasi lainnya adalah "Petunjuk Teknis Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi, dan "Standar, Kriteria dan Prosedur Pembangunan KPHK" (saat ini masih dalam proses penyelesaian). Selain itu, FORCLIME akan mendorong hasil kajian untuk disusun menjadi Peraturan Menteri mengenai Pembangunan KPHK di luar taman nasional, yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa dan hutan konservasi alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, termasuk taman buru). Saat ini, taman nasional yang ada dikelola oleh unit pengelola khusus, yang dikenal sebagai Balai Taman Nasional dan Balai Besar Taman Nasional, sedangkan Taman Hutan Raya berada di bawah pemerintah nasional atau provinsi. Kawasan lindung lainnya dikelola oleh Balai Besar Kawasan Konservasi dan Balai Kawasan Konservasi di tingkat provinsi. Perbedaan tingkat administrasi dan institusi pengelola telah menyebabkan kurangnya manajemen yang efektif, terutama di kawasan konservasi non-taman nasional di tingkat tapak. Dalam rangka meningkatkan pengelolaan hutan lestari, pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan kebijakan penting untuk memperkuat pelaksanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Oleh karena itu, semua hutan, termasuk hutan konservasi harus dikelola oleh unit manajemen khusus berdasarkan fungsinya. Oleh karena itu, kawasan konservasi dan manajemennya yang sekarang akan berubah menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi sebagai sebagai satu area/kelompok dan satu unit manajemen (organisasi).
Pembentukan kawasan konservasi (KK) di Indonesia mengacu pada saat Pemerintah Kolonial Belanda menunjuk sebagian hutan Indonesia sebagai "natuurmonumenten" (monumen alam) atau "wildreservaat" (suaka margasatwa) di bawah Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tujuan melestarikan hutan termasuk penelitian dan perlindungan alam dan habitat marga satwa, terutama mamalia besar, burung dan hewan menarik lainnya. Beberapa kawasan yang dikelola oleh Kantor Kehutanan (Onder het beheer van den Dienst van het Boschwezen) seperti cagar botani atau Kebun Raya Bogor (Onder het beheer van den Directeur’s Land Paltentuin te Buitenzorg), sedangkan yang dan lainnya dikelola oleh pihak swasta (Onder het beheer door Particulieren) seperti cagar alam. Daerah-daerah tersebut ditetapkan sebagai cagar alam (natuurmonumenten) berdasarkan UU Cagar Alam No. 278 tanggal 18 Maret 1916 (Natuurmonumenten Ordonantie, Staatsblad van Nederlandch - Indie No. 278, 1916).1 Selain itu, banyak daerah yang ditetapkan sebagai suaka margasatwa (wildreservaat) untuk melindungi spesies hewan yang terancam karena perburuan yang berlebihan untuk hobi dan keindahan. Situasi tersebut menyebabkan pembatasan kegiatan berburu melalui berlakunya Peraturan Berburu no. 133/1916 (Jacht ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133) yang diikuti oleh berlakunya Peraturan Satwa Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134).
Pada tahun 1941, sebuah Hukum Perlindungan Alam (Natuurbeschermings Ordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167) diterbitkan sebagai perbaikan dari Hukum Monumen Alam tahun 1916. Namun, karena Perang Dunia II (dan invasi Jepang tahun 1942), tidak ada kegiatan terkait yang dilakukan sampai diundangkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Menurut undang-undang ini, kawasan konservasi dibagi menjadi Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata. Berdasarkan undang-undang ini, yang sebelumnya natuurmonumenten dan wildreservaat ditetapkan kembali sebagai suaka alam dan suaka margasatwa. Selain itu, lebih banyak wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung baru seperti cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan hutan buru di bawah Departemen Pertanian. Namun, dasar konservasi keanekaragaman hayati berlaku setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, yang pada saat yang sama mencabut undang-undang yang sebelumnya dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada tahun 1978/1979, beberapa kawasan konservasi, terutama Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dinilai untuk diusulkan menjadi taman nasional dengan menggambungkan areal hutan yang berdampingan sekitarnya menjadi areal yang layak terkelompok. Lima taman nasional pertama ditetapkan pada tahun 1980, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Komodo. Pada tahun 1982, selama Kongres Taman Nasional Dunia (World National Park Congress) di Bali, 11 kawasan lainnya dinyatakan sebagai taman nasional. Saat ini, ada 521 kawasan konservasi di Indonesia, meliputi lebih dari 27 juta hektare, yaitu: CagarAlam (220Ha), Suaka Margasatwa (75Ha), Taman Nasional (51Ha), Taman Hutan Raya (23Ha), Taman Wisata Alam (115Ha), dan Hutan Buru (13Ha).
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Wandojo Siswanto, Manajer bidang Kebijakan Hutan dan Perubahan Iklim
1 Yudistira, Pandji. 2014. Sang Pelopor. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan (Pusdiklat Kehutanan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencanangkan target untuk melatih 41.800 personel kementerian dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Jumlah ini tiga kali lipat jumlah peserta yang telah dilatih dalam lima tahun terakhir. Salah satu strategi yang ditempuh agar target ini terpenuhi adalah dengan menggunakan E-Learning atau metoda campuran (blended-learning).
E-Learning adalah proses belajar mandiri dengan menggunakan media elektronik sebagai media penyajian materi pembelajaran . Materi E-Learning dirancang menggunakan perangkat lunak yang memungkinkan dimasukkannya foto, video and sisipan audio agar tercipta pengalaman belajar yang menarik. Salah satu cara dalam penyelenggaraan e-learning adalah off-line system dimana materi pembelajaran pelatihan disimpan dalam CD-ROM atau flash disc sehingga program E-Learning dapat langsung dijalankan tanpa harus terhubung dengan jaringan internet terlebih dahulu. Cara lain adalah on-line system dimana proses belajar dilakukan dengan menggunakan jaringan internet. Dengan cara on-line system ini pelatih dapat membantu proses belajar dengan berkomunikasi dengan peserta secara langsung melalui internet (online chats atau forum chats) atau memberikan umpan balik kepada peserta dengan surat elektronik (e-mail) yang ditulisnya dan dikirimkannya kepada peserta melalui internet . Fasilitas teknologi komunikasi lain yang bisa digunakan untuk komunikasi antara pelatih dan peserta adalah telepon dan SMS mengingat penyebaran handphone saat ini sudah cukup luas.
Alternatif lainnya adalah Blended Learning. Cara ini menggabungkan program E-learning yang telah disusun dengan metode pelatihan secara klasik, yang dilakukan melalui tatap muka secara langsung dengan pelatih. Proses belajar campuran seperti ini sering kali digunakan untuk lebih mendalami pemikiran-pemikiran yang timbul dari proses belajar tersebut dengan membahas kompetensi yang diperoleh baik melalui internet atau tidak.
E-Learning menawarkan peluang untuk memberikan pelatihan kepada pegawai kehutanan di tempat-tempat yang jauh dan terpencil dalam jumlah besar. Oleh karena itu, E-Learning dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kapasitas sumber daya manusia guna memastikan ketersediaan staf kehutanan yang berdedikasi dan terlatih dengan baik bagi Kesatuan Pengelolaan Hutan, agar pengelolaan hutan secara lestari, konservasi keanekaragaman hayati dan perbaikan mata pencaharian dapat diwujudkan.
Apakah E-Learning merupakan solusi yang tepat bagi Pusat Diklat Kehutanan (P3K) dan Balai Diklat Kehutanan? Untuk menjawab pertanyaan penting ini, pada bulan September 2014 dilakukan kajian awal terhadap kesiapan E-Learning. Dalam diskusi kelompok para pejabat struktural dan pelatih Pusat Diklat Kehutanan dan Balai Diklat Kehutanan disimpulkan bahwa E-Learning potensial untuk dikembangkan di masa depan . Di samping itu, E-Learning juga dianggap tepat untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan jumlah pegawai kehutanan yang terlatih.
Kegiatan kajian awal ini ditindaklanjuti dengan lokakarya sosialisasi E-Learning guna merapatkan barisan dan mempertajam visi E-Learning di lingkungan Pusat Diklat Kehutanan dan Balai Diklat Kehutanan. Lembaga Pelatihan Kementerian Keuangan dan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur yang selama ini telah mengembangkan e-learning diundang sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman mereka dalam penerapan e-learning di instansi mereka masing-masing. Di samping itu, Lembaga Administrasi Negara (LAN) juga diundang untuk memberikan orientasi mengenai kebijakan dan peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan E-Learning. Narasumber dari LAN menyebutkan bahwa upaya-upaya pelatih mengembangkan dan memfasilitasi pelatihan melalui e-learning dijamin akan sama dihargainya dengan pengembangan dan fasilitasi pelatihan model klasik dengan cara tatap muka secara langsung dengan pelatih. Topik lain yang dibahas dalam lokakarya ini adalah mengidentifikasi pelatihan yang akan dibuatkan versi e-learning-nya. Dalam kesempatan itu disepakati bersama untuk mengembangkan e-learning bagi Program Bakti Rimbawan yang akan diikuti 822 calon pegawai baru yang akan ditempatkan di kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pelatihan Bakti Rimbawan ini akan dilaksanakan pada bulan Maret 2015.
Untuk melihat modul, kunjungi situs internet: www.pusdiklathut.org/baktirimbawan
Para peserta diminta memberikan umpan balik supaya apa yang mereka tangkap tentang manfaat dan tantangan dari 6 modul E-Learning yang disediakan dapat diketahui. Modul-modul tersebut mendapat nilai tertinggi dari peserta pelatihan. Rata-rata 1/3 dari peserta mengatakan bahwa modul-modul tersebut sangat menarik; daya tariknya bervariasi dari modul ke modul, berkisar antara 55 hingga 70 persen. Dua pertiga sisanya melaporkan bahwa modul-modul tersebut menarik; daya tariknya bervariasi dari modul ke modul, berkisar antara 25-37 persen.
Menariknya, 39 persen dari peserta melaporkan banyaknya materi pembelajaran baru yang diberikan dalam modul-modul E-Learning. "Menjalin dan membina kerja sama di lingkungan KPH" misalnya adalah salah satu modul yang memberikan materi yang sebagian besar di antaranya adalah baru bagi hampir setengah dari peserta (45 persen). Karena lebih dari 2/3 peserta (68 persen) mengatakan bahwa modul-modul E-Learning sangat membantu mereka dalam pekerjaan mereka di KPH di masa yang akan datang, maka dapat dikatakan bahwa E-Learning sukses besar. Dengan demikian, upaya lebih lanjut untuk menerapkan E-Learning dan Blended Learning di lingkungan CFET, balai-balai diklat kehutanan dan juga sekolah-sekolah kejuruan dapat dilakukan dengan bekal motivasi dan semangat yang besar.
Pada akhir Maret 2015 diselenggarakan pertemuan dalam rangka membangun Sistem Manajemen Pembelajaran atau Learning Management System (LMS). Pertemuan ini membahas penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab di lingkungan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (P3K) dan balai-balai diklat kehutanan (BDK). Lulusan sekolah kejuruan di bidang kehutanan (SMKK) diundang agar mereka mendapatkan wawasan tentang kemungkinan belajar melalui E-Learning dan terdorong untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran tersebut. Tujuan yang sangat penting dari acara pertemuan ini adalah untuk mengidentifikasi pelatihan-pelatihan di masa yang akan datang yang sesuai sebagai pelatihan campuran (Blended Learning).
Setelah lokakarya tersebut, dalam rangka mengembangkan pelatihan campuran, beberapa pelatihan bagi pelatih (ToT) selanjutnya akan diselenggarakan. Salah satu di antaranya untuk membantu pelatih mendapatkan kemampuan dan keterampilan tentang bagaimana memfasilitasi peserta dalam proses pembelajaran E-Learning yang mereka lakukan. Setelah mengikuti pelatihan tersebut, para pelatih dan anggota tim E-Learning diharapkan mampu menyelenggarakan dan mengembangkan sendiri pelatihan E-Learning/Blended Learning, pelatihan bagi pelatih untuk memfasilitasi pelatihan E-Learning dan sistem manajemen pembelajaran (LMS). Pada tahun 2016, Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan dan balai-balai diklat kehutanan diharapkan sanggup mengembangkan dan berhasil melaksanakan E-Learning guna memperkuat Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia pegawai kehutanan tidak saja di Indonesia melainkan juga di kawasan ASEAN. Ini adalah langkah penting untuk mewujudkan visi menjadi pusat pelatihan kehutanan unggulan.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:Implementasi kebijakan Kementerian Kehutanan mengenai pengelolaan hutan desa melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tahun 2008 saat ini telah berjalan di tingkat kabupaten dan masyarakat. Khususnya masyarakat dusun Karangan Bunut di desa Menua Sadap, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat secara aktif berpartisipasi melaksanakan kebijakan tersebut.
Masyarakat dusun Karangan Bunut telah mengajukan proposal kepada Kementerian Kehutanan untuk mengelola hutannya seluas ± 1.640 Ha melalui skema Hutan Desa. Lokasi tersebut telah diverifikasi oleh tim Kementerian Kehutanan pada bulan September 2012.
Sambil menunggu dikeluarkannya surat keputusan izin pengelolaan hutan desa dari Kementerian Kehutanan, masyarakat desa melakukan inventarisasi potensi hutan, termasuk potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan yang diusulkan.
FORCLIME bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura di Pontianak, Kalimantan Barat memfasilitasi kegiatan inventarisasi potensi hutan di desa Menua Sadap. Kegiatan ini dilakukan bersama dengan masyarakat dusun Karangan Bunut. Sebelum pelaksanaan pengambilan data, yang dilakukan selama 10 hari, masyarakat yang terlibat diberi pelatihan selama 5 hari, sehingga mereka mengerti bagaimana proses pengambilan data yang benar. Pelatihan ini juga bertujuan agar masyarakat dusun Karangan Bunut dapat melakukannya secara mandiri dikemudian hari.
Inventarisasi dilakukan menggunakan metode kuadran dengan jarak sistematis, dibuat dalam 18 plot sepanjang 1000 m. Pembagian plot ini berdasarkan kelas tutupan lahan, asas pemanfaatan oleh masyarakat dan pembagian keterwakilan luas.
Dari hasil pengambilan data potensi, diketahui bahwa masih terdapat banyak kayu komersial, seperti Tekam (Hopea Sp) dan Meranti (Shorea Sp) dan Kelansau (Dryobalanops Sp). Dari plot yang dibuat, terdapat 6 plot yang memiliki tutupan lahan sangat baik, dimana banyak ditemukan pohon dengan diameter diatas 35 cm, termasuk tekam dan meranti. Hal ini karena jarak keenam plot tersebut berada pada hulu sungai dan sulit dijangkau oleh masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. Kemudian 5 plot dengan tutupan sedang yang memiliki potensi kayu lebih rendah, dengan jenis kayu komersial rendah, seperti Kempas (Koompasia Malaccensis). Sedangkan pada 7 plot lainnya memiliki tutupan tajuk rendah atau bekas ladang dan memiliki potensi kayu yang rendah. Lokasi dari ketujuh plot tersebut berada di sekitar pemukiman masyarakat, sehingga aktivitas sehari-hari berada pada kawasan tersebut.
Tingginya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu seperti rotan oleh masyarakat Karangan Bunut telah menyebabkan rendahnya temuan rotan dengan ukuran siap panen. Namun rotan masih sangat banyak ditemukan secara individu di hulu sungai. Lahan non-hutan yang berada pada tujuh plot di hilir sungai dimanfaatkan oleh warga untuk mendapatkan makanan untuk sayur, seperti Gambir (Syzygium polyanthum), Entaban (Poikilospermum suaveolens). Sedangkan jenis tanaman obat seperti Sirih hutan (Piper sp) atau Keminting (Melastoma affine) masih banyak ditemukan pada seluruh plot.
Suku Dayak Iban memiliki kearifan lokal yang sangat baik dalam pemanfaatan hutan dan isinya. Sebagai contoh, tidak seluruh hutan dijadikan ladang, namun dilakukan secara berkala. Sisa lahan yang tidak dijadikan ladang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karet dan tanaman buah seperti durian dan tengkawang, yang disebut dengan hutan Tembawang (tengkawang adalah nama pohon dari suku Dipterocarpaceae, yang buahnya menghasilkan minyak yang berharga tinggi). Terkait dengan konservasi satwa liar, Suku Dayak Iban tidak dibolehkan untuk memburu orangutan (Pongo pygmaeus) karena dianggap merupakan nenek moyang suku dayak.
Data hasil inventarisasi ini akan dijadikan rona awal untuk menyusun rencana pengelolaan hutan Karangan Bunut melalui skema Hutan Desa.
Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa potensi hutan Karangan Bunut masih sangat tinggi.
Dengan demikian, melalui pengelolaan hutan dengan skema Hutan Desa yang dipadukan dengan kearifan lokal dapat menjaga kelestarian hutan yang ada. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan penghidupan masyarakat dusun Karangan Bunut.
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Ali Mustofa, Thematic Leader for Community Empowerment
Tunggul Butarbutar, Strategic Area Manager for FMU Development
Didukung oleh: | |