Taman Hutan Raya atau Tahura, menurut Undang-undang No. 50 tahun 1990, adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Tahura merupakan kawasan konservasi yang pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah.
Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah (Tahura Sulteng) terletak di Kabupaten Sigi dan Kota Palu, sehingga pengelolaannya berada pada pemerintah provinsi, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah (UTPD) Tahura Sulteng. Tujuan pengelolaan Tahura Sulteng adalah untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat koleksi tumbuhan dan satwa, sehingga menjadi kawasan yang dapat dibanggakan masyarakat Sulawesi Tengah. Tahura ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Terdapat vegetasi 159 jenis (pepohonan 100 jenis; rerumputan 13 jenis; liana, strangler, efifit, saprofit dan parasit 22 jenis; dan palma 5 jenis). Jenis dominan di kawasan ini adalah cendana (Santalun album) dan biti (Vitex cofassus). Sementara itu, fauna yang dapat ditemukan di kawasan Tahura Sulteng terdiri atas mamalia, aves, reptilia dan amfibia. Pada tahun 2021 kawasan Tahura Sulteng mengalami pengurangan seluas 1.933 Ha, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6624/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021, sehingga saat ini luasnya menjadi 5.195 Ha.
Dalam rangka menyempurnakan dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Tahura Sulteng 2025-2034, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, yang diwakili oleh Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Ibu Zulfiany, S.Hut., M.Si., mengadakan tinjauan publik pada tanggal 12 September 2024 di Desa Ngatabaru di Kabupaten Sigi. Kegiatan ini, didukung FORCLIME, dihadiri oleh warga dan aparat Kecamatan Mantikulore di Kota Palu dan Kecamatan Sigi Biromaru di Kabupaten Sigi, serta aparat yang bertugas melaksanakan ketertiban dan keamanan di wilayah pedesaan, yaitu Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (BhayangBhabinkamtibmas).
Dalam pertemuan tersebut, masyarakat Desa Ngatabaru berharap UPTD Tahura Sulteng, selaku pengelola, dapat mempertahankan luasan yang ada saat ini. Usulan lainnya, disampaikan FORCLIME, untuk memasukkan pengarusutamaan gender ke dalam dokumen RPJP yang mengacu kepada Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang diterjemahkan dalam P.31 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam mengoptimalkan upaya pengarusutamaan gender dalam setiap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Sehingga dokumen RPJP Tahura Sulteng menjadi dokumen perencanaan dan penganggaran yang responsif gender.
Tindak lanjut setelah mendapat masukan melalui kegiatan tinjauan publik ini, UPTD Tahura Sulteng akan memformulasikan saran dan masukan dari peserta pada pertemuan tersebut ke dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Tahura Sulteng, serta berkonsultasi dengan pihak terkait, salah satunya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Muhammad Yusuf, Advisor, Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari
Ismet Khaeruddin, Advisor Senior, Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Koordinator Provinsi Sulawesi Tengah